Welcome

Selamat Datang,
Ahlan wa Sahlan di situs Bidang Perempuan PIP PKS (Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera) Arab Saudi .
Terima Kasih telah berkunjung.

Kategori

Bagaimana Mendidik Anak Mendirikan Sholat



Bagaimana Mendidik Anak Mendirikan Sholat
Oleh : Ummu Muthia
(Rubrik "Pendidikan Anak" Buletin An-Nisa Edisi Juni 2013)


Setiap orang tua tentu menginginkan anak-anaknya menjadi qurrata a’yun bagi kedua orang tua, tidak saja di masa lucu-lucunya namun juga hingga dewasanya kelak, jangan sampai mereka berubah menjadi musuh dikarenakan kelalaian orang tua dalam mendidik mereka sejak kecil, tidak memberikan perhatian yang serius atau menganggapnya hal yang kurang prioritas. Alangkah ironinya kalau pengenalan agama ini diserahkan secara keseluruhan kepada guru ngaji misalnya. Hal ini memang penting namun porsinya hanyalah sebagai pendukung semata, apalagi bagi keluarga yang saat ini sedang bermukim di luar negeri, kualitas kebersamaan kita dengan anak terkadang belum bisa mengimbangi kuantitasnya. Boleh jadi kita sering berada di dekat anak namun belum tentu kita pada saat itu sedang bersama sang anak.



Berbicara tentang mendidik anak untuk mendirikan shalat merupakan hal yang sangat menarik, karena harapan kita sebagai orang tua tentunya mengidamkan anak-anak yang mencintai ibadah khususnya ibadah shalat serta terbangun kecintaannya kepada agama. Namun pada kenyataannya, tidaklah mudah untuk menumbuhkan kesadaran tersebut pada anak-anak hingga mengamalkan agama sampai kelak dewasanya. Di samping dukungan do’a orang tua agar anak-anak mendapat petunjuk ke jalan benar, hal ini juga tidak lepas dari ikhtiar manusiawi dan pendekatan-pendekatan yang kita terapkan. Mengutip apa yang disampaikan oleh Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari seorang pakar sekaligus trainer pelatihan parenting ternama yang juga kerap disapa dengan Abah Ihsan, setidaknya ada empat pendekatan efektif yang dapat dilakukan agar anak memiliki kesadaran mengamalkan agamanya, dalam hal ini mendirikan shalat. Keempat pendekatan tersebut hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan simultan.


Pertama : Keteladanan
Orang tua adalah tempat anak bercermin, anak-anak akan sangat mudah terpengaruh dengan apa yang kita ucapkan atau lakukan. Mungkin kita pernah mengalami bagaimana anak mengingatkan kita sebagaimana kita pernah pula mengingatkan mereka, misalnya suatu ketika saat anak berucap: “Umi sabar ya..,” saat kita sedang menghadapi sebuah masalah. Demikian juga dengan sikap dan perbuatan kita akan sangat mudah ditiru oleh anak. Mana mungkin kita menyuruh anak mendirikan shalat sedangkan kita tidak mendirikan kewajiban tersebut, atau kita menginginkan anak disiplin dalam shalat sedangkan kita tidak disiplin melaksanakannya.
Tapi keteladanan saja masih belum cukup. Betapa banyak kita lihat di sekitar kita, orang tua yang begitu rajin ke masjid, tapi anak laki-lakinya yang remaja kok tidak rajin ke masjid? Kurang teladan apa? Karena itu perlu pendekatan-pendekatan berikutnya.

Kedua : Pembiasaan
Kebiasaan beribadah sangat perlu, meski bukan satu-satunya. Membiasakan beribadah pada anak adalah ikhtiar agar kita dapat menjadikan ibadah sebagai habit yang menyatu dengan anak-anak. Jika sudah menjadi habit, anak-anak akan menjadi 'ringan' dalam ibadah hingga ia dewasa. Itulah hikmah menyuruh anak mendirikan shalat di usia tujuh tahun dan baru dibenarkan dengan cara yang keras setelah mencapai usia sepuluh tahun. Masa tiga tahun semenjak anak berusia tujuh tahun adalah kesempatan terbaik membiasakan shalat lima waktu setiap hari yaitu melalui proses sebanyak 5475 kali menyuruh anak mendirikan shalat (5475 = 5 waktu shalat x 365 hari/tahun x 3 tahun). Tentunya cara-cara yang keras tidak diperlukan lagi jika para orang tua telah mengoptimalkan masa tiga tahun ini sebaik-baiknya.
Pembiasaan hal yang baik kepada anak sejak kecil Insya Allah akan dapat menghiasinya dengan kebaikan itu hingga dewasa kelak. Termasuk juga misalnya membiasakan anak memilih model pakaian yang menutup aurat sejak kecil, sehingga ketika sudah besar anak tidak merasa canggung lagi meski di sekolahnya hanya ia sendiri yang mengenakan model pakaian menutup aurat. Bahkan lebih jauh lagi anak akan mampu menularkan model pakaian tersebut pada teman-teman dan orang-orang di lingkungan sekolahnya.
Tetapi ini saja pun tidak cukup. Jika hanya dibiasakan, tak sedikit anak yang sudah dibiasakan kebaikan dan ibadah sejak kecil tapi karena pikirannya masih 'kosong' dengan nilai-nilai Rabbani, maka sebagian merekapun akhirnya enggan beribadah ketika dewasa.

Ketiga : Instalasi Motivasi
Dalam mengenalkan agama, sebagian orang tua memulai dari kompetensi-kompetensi (keterampilan) beragama. Jika mengenalkan agama hanya dimulai dari kompetensi-kompetensi beragama seperti terampil shalat, terampil membaca qur'an, terampil ini dan itu, maka belum tentu anak kemudian akan terus mengamalkannya sampai dewasanya kelak. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam mendidik anak-anak kita bukanlah sekedar kompetensi beragama, tapi juga motivasi beragama. Sejak anak-anak bisa membedakan mana tangan kanan dan tangan kiri, maka sejak saat itulah orang tua dapat mengenalkan pada nilai baik dan buruk seperti yang direferensikan dalam agama. Ingat, KESADARAN letaknya pada PIKIRAN, bukanlah pada tubuh. Maka membuat anak merasa sadar berarti menanamkan nilai tentang ibadah pada pikiran anaknya terlebih dahulu bukan sekedar nyuruh-nyuruh beribadah (mengendalikan tubuh).
Bagaimana mengubah pikiran anak? Lakukan instalasi nilai-nilai, tanamkan informasi kebaikan pada anak tentang Allah, tentang Rasul, setiap hari dengan tepat baik melalui media dongeng, cerita, kisah, ngobrol setiap hari minimal setengah jam, membaca buku bersama, mengajak diskusi anak,  atau apapun yang intinya kita menginstalasi nilai pada pikiran anak kita sehingga akhirnya menjadi program pikiran mereka dan sehingga mudah-mudahan dapat menjadi motivasi buat hidup mereka. Ketika motivasi anak sudah tumbuh dengan baik maka kewajiban shalat itu akan terasa ringan saat ditegakkan.
Apalagi kalau kita mengaitkan kejadian sehari-hari dengan karunia dari Allah. Pernah saya mengalami pengalaman pribadi, saat ingin membeli buah di sebuah supermarket, ternyata harganya terlalu mahal sehingga rencana membeli buah-buahan batal meskipun anak-anak sangat menginginkannya. Tidak berapa lama setelah kejadian tersebut, ketika pulang dari pengajian ibu-ibu saya dibekali dengan sekantong buah yang pernah batal saya beli. Subhanallah... Allah Maha Pengasih dan Pengatur rizki bagi hamba-hamba-Nya. Kejadian ini saya ceritakan kepada anak saya, dia mengatakan dengan sangat antusias, “Ummi, Allah itu bisa mengabulkan apa yang kita butuhkan ya?” “Tentu, kalau kita selalu melakukan apa-apa yang dicintai oleh Allah,” jawab saya. Pada saat saya ceritakan itu dia belum shalat lima waktu, dengan serta merta penuh bahagia dia segera beranjak untuk shalat. Kejadian-kejadian seperti ini kita semua tentunya pernah mengalami dan hendaknya kita ceritakan kepada anak sehingga dia akan merasakan kebesaran Allah.

Keempat : Kedekatan Emosional
Kedekatan emosional orang tua dan anak akan menentukan penerimaan atau instalasi nilai-nilai pada anak. Orang tua yang mengabaikan anak, terlalu sibuk dengan urusannya sendiri dan hanya mengandalkan sekolah, ustadz atau tenaga 'outsourcing' lainnya dalam mengenalkan agama pada anak, hendaknya jangan berharap terlalu banyak jika anaknya dapat dekat dengan Tuhan-Nya sedang orang tua sendiri tak berusaha mendekati anaknya. 
Kedekatan emosional ini juga akan memudahkan orangtua dalam menanamkan kebiasaan beribadah pada anak. Jangankan ibadah yang perlu kesadaran spiritualitas, dalam hal kegiatan belajarpun misalnya terbukti secara empiris, anak-anak di Jepang yang rata-rata 30 menit didampingi orang tua di rumah saat belajar ternyata indeks prestasi akademiknya lebih baik dibandingkan anak-anak di Amerika yang rata-rata hanya 15 menit didampingi orang tua di rumah saat belajar. Apalagi dalam hal kesadaran beragama, yang kemudian membutuhkan jangka waktu panjang untuk menanamkan nilai-nilai dengan benar dan tepat mulai dari aqidah, ibadah dan lain-lain. Yang juga tidak kalah pentingnya dalam hal ini adalah kita sebagai orangtua harus terus belajar mengkaji ilmu sehingga kita benar-benar menjadi orang tua yang sangat tahu apa yang harus kita lakukan untuk anak-anak kita di zaman ini.

Semoga Allah memberi kita kesabaran dan kemampuan mendidik anak-anak kita sehingga  mampu mengantarkan mereka kepada keridhaan Allah, hingga suatu saat kita dapat bersama mereka berkumpul di jannah-Nya kelak. Tentunya ini menjadi harapan kita semua bukan? Kalau kita mencintai mereka maka didiklah mereka untuk mengenal Rabbnya.

comment 0 comments:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© 2010 Perempuan Keadilan Arab Saudi is proudly powered by Blogger