Oleh: Ustadz Sholahuddin Abdul Rahman, Lc
Pertanyaan :
Kata “kepemimpinan” dan “pemimpin” memiliki arti
yang berkaitan dan tidak bisa terlepas satu sama lain, bagaimana Islam
memandang kedua hal tersebut?
Jawaban :
Pemimpin adalah pribadi yang memiliki kecakapan
dan kelebihan sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain, juga memiliki
kemampuan memimpin, mengatur dan mengarahkan bawahan melalui prestise, kekuasaan atau posisi dan dapat
diterima oleh pengikutnya dengan sukarela untuk bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan.
Sedang istilah kepemimpinan pada dasarnya
berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki
seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan
"pemimpin".
Adapun pengertian Kepemimpinan Islam adalah
perihal atau cara-cara memimpin, mengatur dan mengarahkan umat atau rakyat
yang sesuai dengan Syariat Islam. Yang secara garis besarnya bertujuan
memelihara agama Islam dan tercapainya kesejahteraan dunia dan akhirat.
Pada prinsipnya, menurut Islam setiap orang
adalah pemimpin. Ini sejalan dengan fungsi dan peranan manusia di muka bumi
sebagai khalifatullah, yang diberi tugas untuk senantiasa mengabdi dan
beribadah kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 30 dan QS. Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan hal ini dipertegas oleh sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam: “Setiap kalian
adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.
Seorang amir (Presiden) yang memimpin masyarakat adalah pemimpin yang akan
dimintai pertanggung jawaban kepemimpinannya atas mereka. Seorang laki-laki
(suami) adalah pemimpin atas keluarga di rumahnya, dia akan dimintai
pertanggung jawaban kepemimpinannya atas mereka. Seorang perempuan (isteri)
adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dia akan dimintai
pertanggung jawabkan kepemimpinannya atas mereka. Seorang hamba adalah
pemimpin atas harta tuannya, dia akan dimintai pertanggung jawaban
kepemimpinannya atas harta itu. Ketahuilah masing-masing kamu adalah pemimpin
dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya”. (HR. Bukhari)
Pertanyaan :
Apa saja kriteria pemimpin yang ideal dalam
Islam?
Jawaban :
Banyak sekali ayat al-Qur’an dan Hadist yang
menyebutkan kriteria sebagai pemimpin, baik bagi diri dan keluarganya, dan
terlebih mereka yang menyatakan diri siap sebagai pemimpin bagi masyarakat,
bersikap dan berperilaku dalam kehidupan mereka sehari-hari, di antaranya
adalah:
-
Mengajak bertaqwa kepada Allah (QS. Al-Anbiya’: 73, QS. At-Taubah: 23 dan QS.
As-Sajdah: 24)
-
Adil kepada semua orang dan tidak pandang bulu (QS. Shad: 26 dan QS. An-Nisa’:
135)
-
Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (QS. Al- Imran: 110)
-
Menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat (QS. Al-Ahzab: 21)
-
Mendorong kerja sama dalam memperjuangkan kesejahteraan bersama (QS.
Al-Maidah: 2)
-
Mengukuhkan tali persaudaraan, kesatuan dan persatuan (QS. Ali Imran: 103)
-
Akomodatif, pemaaf, merangkul semua golongan dan mengedepankan musyawarah
dalam setiap pengambilan keputusan penting untuk masyarakat (QS. Ali Imran:
159)
-
Jujur dan amanah (QS. An-Nisa’ : 58 dan dalam hadits disebutkan: “Tiga golongan, Allah tidak akan berbicara,
mensucikan dan memandang kepada mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih;
orang tua pezina, pemimpin yang suka bohong dan orang miskin yang
sombong". (HR. Muslim).
-
Berwawasan, berpengetahuan luas dan mencintai ilmu (QS. Al-Mujadilah: 11)
-
Teguh pendirian, tegar dan sabar dalam menghadapi ujian (QS, Huud: 112 dan QS.
Al-Ahqaf: 35)
-
Hendaknya memilih pemimpin yang seakidah (QS. Al Maidah: 51)
-
Sehat pendengaran, penglihatan, lisan dan tidak cacat tubuh, agar dapat
menjalankan tugas-tugas yang diemban dengan baik dan maksimal.
Pertanyaan :
Apa saja prinsip-prinsip dasar kepemimpinan dalam
Islam?
Jawaban :
Kepemimpinan Islam harus dilandasi ajaran
al-Qur’an dan Sunnah, yang acuan utamanya adalah meneladani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dengan tujuan menegakkan kalimah Allah Subhanahu
wa ta'ala. Dan di antara prinsip-prinsip kepemimpinan Islam adalah sebagai
berikut:
Prinsip Tauhid, atau dengan dasar menegakkan
kalimah tauhid serta memudahkan penyebaran Islam kepada seluruh umat manusia.
(QS. Al Ikhlas: 1-4, QS. Al Baqarah: 163, QS. An Nisaa: 59)
Prinsip Ukhuwah Islamiyah dengan tujuan
menggalang dan mengukuhkan semangat persatuan dan kesatuan umat Islam. (QS.
Ali Imran: 103 dan QS. Al Hujuraat: 10)
Prinsip persamaan derajat sesama umat manusia,
karena manusia memiliki derajat yang sama di mata hukum dan dalam kehidupan
sesama warga negara, yang membedakan hanyalah ketaqwaan kepada Allah Subhanahu
wa ta'ala. Islam tidak pernah mengistimewakan ataupun mendiskriminasikan
individu atau golongan warga negara. Islam juga melindungi hak-hak
kemanusiaan, siapapun dia, muslim atau non muslim, selama mau hidup bersama
dan taat terhadap pemimpin dan menjaga kesatuan dan persatuan. (QS. Al
Hujuraat: 13)
Prinsip musyawarah untuk mufakat. Islam selalu
menganjurkan adanya kesepakatan dalam memutuskan suatu perkara yang
berhubungan dengan kemanusiaan, baik dalam kehidupan keluarga, lebih-lebih
kehidupan bernegara untuk menciptakan lingkungan yang damai dan tentram. Dalam
Al-quran ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks mengambil
keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih
anak, (QS. Al Baqarah: 233). Kedua:
musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan
anggota masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal bernegara, (QS. Ali Imron:
158). Meskipun terdapat beberapa ayat dan sunnah yang menerangkan tentang
musyawarah, hal ini bukan berarti al-Qur'an telah menggambarkan sistem
pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya hal ini memang disengaja oleh
Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambaNya
untuk berijtihad menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi
sosial-kultural. Dengan musyawarah juga umat Islam dapat memilih dan
mencalonkan kandidat yang memiliki sikap adil dan dianggap memiliki kompetensi
dalam kepemimpinan untuk mengurus kepentingan mereka.
Prinsip Keadilan (al 'Adalah). Dalam mengatur
pemerintahan, keadilan menjadi suatu keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk
antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Dalam al-Qur'an,
kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang 28 kali. Paling tidak ada 4
makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama. Pertama:
Adil dalam arti sama, artinya tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan
yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum (QS.
An-Nisa': 58). Kedua: adil dalam arti
seimbang. Disini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian
dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan, kadar yang besar dan kecilnya
ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya (QS. Al-Infithar: 6-7 dan QS.
Al-Mulk: 3). Ketiga: adil dalam arti
perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
pemiliknya. Keempat: keadilan yang
dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Adil disini berarti memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Jadi, sistem pemerintahan Islam yang
ideal adalah sistem yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di
depan umum, keseimbangan (proporsional) dalam mengatur kekayaan alam misalnya,
distribusi pembangunan, adanya balancing power
antara pihak pemerintah dengan rakyatnya, dll. “Sesungguhnya
Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia kafir, dan
tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim”.
Demikian kata mutiara Ali bin Abi Thalib.
Prinsip Kebebasan (al Hurriyah). Kebebasan dalam
pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan
agama sekalipun. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah
kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan yang dibatasi
oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu
dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala
bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara sesuai
konstitusi untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
Keenam prinsip tersebut harus senantiasa
dijadikan landasan dalam menetapkan setiap kebijakan pemerintahan sehingga
tujuan kepemimpinan dalam Islam akan dapat terwujud dengan sebaik-baiknya.
Pertanyaaan :
Bagaimana hukum memilih pemimpin dalam Islam,
bolehkah golput (tidak memilih)?
Jawaban :
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa
larangan bersikap golput, atau tidak ikut dalam memilih pemimpin. Para ulama
mengatakan, wajib bagi rakyat untuk memilih pemimpin. Kalau yang dipilih ada,
namun tidak ikut memilih, maka menjadi haram.
"Seorang
pemimpin punya kedudukan tinggi, dan orang yang memuliakan pemimpin, maka
Allah akan memuliakannya. Dan orang yang merendahkan kedudukan pemimpin, maka
Allah juga akan merendahkan dirinya". (HR. Ahmad).
Al-Mawardi juga menyatakan bahwa hukum
mengangkat/memilih pemimpin dalam Islam adalah wajib. Beliau berkata: Imam
(pemimpin) itu diangkat sebagai pengganti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
dalam memimpin, untuk menjaga kemashlatan umat dan menjaga agama. Kemudian
Ibnu Khaldun berkata: Sesungguhnya mewujudkan pemimpin itu adalah wajib dengan
Ijma’ Ulama. Ahlussunnah Wal Jama’ah juga memandang wajibnya memilih pemimpin.
Namun di negara kita ini sangat disayangkan, dalam setiap pemilihan calon
pemimpin, masih banyak umat Islam yang menyia-nyiakan suaranya, sehingga tidak
sedikit calon pemimpin Islam yang kalah dalam pemilihan, padahal mengangkat
pemimpin dalam Islam diperintahkan, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Jadi
wajib hukumnya memilih pemimpin dan haram hukumnya golput, karena bisa jadi,
dengan sebab satu orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, hingga orang
kafir yang menang, padahal Al Qur'an melarang kita mengangkat orang kafir
sebagai pemimpin (QS. Al-Imran: 28, QS. Al-Nisa: 138-139, QS. Al-Nisa: 144,
QS. Al-Ma’idah: 51).
Terkadang kita begitu apatis dengan
pemimpin yang korup, sehingga memilih golput. Sikap golput atau tidak memilih
pemimpin merupakan sikap yang kurang bijak. Dalam Islam, kepemimpinan itu
penting, sehingga Nabi pernah berkata, "jika kalian bepergian,
pilihlah satu orang jadi pemimpin".
Jika alasan golput karena sistem yang ada
sekarang tidak sesuai dengan ajaran Islam, justru peluang untuk mengubah
undang-undang itu, sesuai dengan sistem yang ada sekarang, adalah di parlemen
dan panggung kekuasaan. Jika kita menginginkan aturan di negeri ini bersumber
dari ajaran Islam, maka orang-orang yang pro dengan syariat Islam harus
mengubahnya. Tempat mengubahnya itu bukan di jalanan, tapi di dalam gedung
parlemen. Jika umat Islam ingin mendirikan tempat ibadah, maka yang
mengeluarkan IMB-nya itu kepala daerah. Tuntutan 1000 orang di jalanan, bisa
dimentahkan oleh keputusan hanya seorang kepala daerah. Untuk menjadi kepala
daerah atau presiden tidak bisa ditempuh dengan golput.
Tetapi di balik sikap apatis masyarakat dan
keraguan mereka terhadap kinerja parpol, Partai Keadilan Sejahtera in
syaa Allah, hadir memberi harapan, mengobati kekecewaan dan mengusir keraguan
masyarakat terhadap parpol. PKS hadir di tengah-tengah mereka, melakukan kerja
nyata, menyapa mereka, duduk bersama mereka, mendengar keluhan mereka, dan
menampung aspirasi mereka.
Di kala bencana banjir merendam pemukiman
penduduk, di kala bencana longsor merobohkan rumah mereka, di kala gunung
meletus meluluhlantakkan tempat tinggal mereka, di kala gempa bumi
memporakporandakan kampung mereka, ratusan ribu relawan PKS di seantero negeri
hadir di garis terdepan dan siap menyapa, mendengar, menolong dan membantu
para korban. Mereka bekerja dalam senyap tanpa diliput media, suka rela tanpa
pamrih, bekerja sama dengan lembaga pemerintah.
Jadi jangan golput, PKS bisa jadi pilihan
alternatif, percayalah, harapan itu masih ada.
Pertanyaan :
Bagaimana sikap rakyat terhadap pemimpin yang
telah terpilih?
Jawaban :
Al Mawardi dalam kitabnya al Ahkam as Sultaniyah
berkata, “Seorang pemimpin, ketika dia sudah ditetapkan sebagai pemimpin, maka
wajib bagi segenap umat untuk menyelamatkan dan mentaatinya. Karena mereka
memiliki kewajiban untuk menolongnya.”
Maka sebagai rakyat, tugas mereka adalah taat
kepada perintah pemimpin selama ia memerintahkan taqwa kepada Allah (QS.
An-Nisa’: 59) dan tidak dalam rangka maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana sabda beliau: "La tha'ata
limakhlukin fi ma'shiatil khaliq", tidak boleh taat kepada makhluk
dalam bermaksiat kepada Sang Khalik. Allah Subhanahu wa ta'ala juga berfirman:
"Dan janganlah kamu mentaati perintah
orang-orang yang melewati batas" (QS. Asy-Syuara: 151). Dalam
sebuat riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
mengutus bala tentara dan mengangkat seorang laki-laki Anshar sebagai
komandan, dan Nabi memerintahkan kepada seluruh bala tentara untuk mentaati
sang komandan. Suatu saat sang komandan marah kepada prajuritnya dan berkata:
"Bukankah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kalian semua
untuk taat kepadaku?". Para prajurit menjawab: "Benar,
komandan!". Komandan berkata: "Aku perintahkan kalian semua untuk
mengumpulkan kayu bakar, lalu bakar dengan api, setelah itu masuklah kalian
semua ke dalamnya!". Lalu para prajurit mengumpulkan kayu bakar dan
menyalakannya. Tatkala mereka bermaksud untuk memasukinya, berdirilah setiap
prajurit saling memandang diantara mereka, sebagian prajurit berkata:
"Sesungguhnya kita semua mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
karena kita berlari dari api (neraka), apakah kita sekarang akan
memasukinya?". Manakala mereka dalam keadaan demikian, padamlah api tadi,
dan hilanglah marah sang komandan. Lalu kejadian itu diceritakan kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam dan Nabi bersabda: "Andaikan
saja kamu semua memasuki api itu, pasti kamu tidak akan pernah keluar
selamanya (mati dan masuk neraka). Sesungguhnya ketaatan kepada pemimpin itu
adalah dalam hal yang baik (ma'ruf)". (HR. Bukhari)
Pertanyaan :
Bagaimana Islam mengatur dalam menegur pemimpin
ketika melakukan kesalahan?
Jawaban :
Untuk menghindari rusaknya pemimpin, maka
masyarakat mempunyai hak untuk menasehati pemimpin tersebut, sebagaimana
dinyatakan dalam hadits: “Sesungguhnya Allah
rela kepada kamu dalam tiga perkara, pertama kamu menyembahNya dan tidak
menyekutukanNya, kedua kamu berpegang teguh kepada agama Allah seluruhnya dan
tidak berpecah belah, dan ketiga kamu menasehati orang yang dilantik oleh
Allah untuk memimpin urusan kamu." (HR. Muslim).
Bahkan menasihati pemimpin yang zalim termasuk
jihad yang paling afdhal. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam: “Jihad yang paling utama
adalah menyampaikan perkataan yang ‘adil di depan penguasa atau pemimpin yang
zhalim.” (HR. Abu Daud)
Itulah sebabnya dalam hadis disebutkan:
“Barangsiapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia
mencegahnya dengan tangannya, apabila dia tidak mampu mencegah dengan
tangannya, maka hendaklah dia mencegahnya dengan lidahnya, dan apabila tidak
mampu juga, maka hendaklah dia mencegahnya dengan hati, dan tindakan yang
terakhir ini merupakan selemah-lemah iman“. Dan itu juga berlaku terhadap
pemimpin yang melakukan kesalahan.
Wallahu a'lam bish shawab
sumber gambar : http://www.ariesandi.com/personal-success/audio-tanya-jawab-goal-setting-kurang-fokus-dan-motivasi-yoyo/
0 comments:
Posting Komentar