BINGKISAN DARI EMAK
Oleh : Taqy Syams
“Hanya ini yang bisa Emak
berikan untuk bekalmu, Nak!” Ucap Emak menyerahkan bingkisan dengan pita hijau
menghias cantik. Buncah di dada mendorong butiran beningku mendesak sudut
mataku mengeluarkannya. Berhambur tubuh
ringkihku meraih tubuh Emak. Erat sekali.
“Do’a Emak akan selalu menyertaimu, Nak! Kamu akan baikbaik di
sana!” Bisik Emak masih dengan suara tenangnya.
Tidak lama lagi semburat senyum, belai lembut tangannya dan mutiara
nasehatnya akan menjadi nada kerinduan yang akan perih terasa. Dengan sangat
terpaksa aku harus mengambil keputusan ini.
Menyambut kesedian Kang Aiman membantuku menuju negeri yang selama ini
bersenandung indah dalam daftar kerinduanku.
Makkah Al-Mukarramah. Begitu negeri itu akrab di hati semua hati
muslim di permukaan bumi ini. Negeri yang selalu memesona hati umat Islam
tertambat di sana. Tidak terkecuali hatiku yang telah sekian lama tertambat,
ingin kakiku ini melangkah di atas kegersangan tanahnya. Mata ini memandang
berlama-lama kesejukan Baitullah. Telinga ini mendengar sendiri rajutan
pinta Tawwafin yang mengelilingi ka’bah tanpa putus. Hati ini merasakan
ketenangan yang tiada satupun kata yang mampu mewakili penggambarannya. Aku ingin semua perangkat diriku itu
merasakan sendiri. Keindahan yang selama ini hanya dapat aku dengar dari
tetangga dan orang-orang yang datang dari negeri itu.
Hari ini adalah hari keberangkatanku ke negeri itu. Kang Aiman telah menyiapkan segala
sesuatunya. Dengan visa pekerja aku ditaqdirkan berangkat. Berharap selain
kerinduanku dapat terobati aku bisa sambil menjemput rizqi-Nya, untuk memanggil
Emak merasakan keindahan negeri itu.
Mendapati ketegaran Emak, buncah yang dari tadi memenuhi dadaku
perlahan berpendar dan membuat langkah kakiku ringan meninggalkan Emak untuk
sementara waktu.
***
Sembilan jam burung besi itu membawaku jauh dari negeriku tercinta.
Bandara King Abdul Aziz menjadi tempatnya menurunkan penumpang. Bersama
penumpang lainnya aku menuruni tangga demi tangga sambil menyertakan kebesaran
Allah dalam setiap desah nafasku. Tentu saja kalau bukan kehendak-Nya, aku tidak
akan pernah merasakan kakiku ini menuruni dan menginjak tangga demi tangga ini.
Tidak akan pernah bisa menghirup udara panas Jeddah.
Bus yang telah disiapkan untuk mengangkutku dan penumpang lainnya
berhasil juga kuinjakkan kaki di dalamnya. Mengantarkan kami ke sebuah ruang
untuk mengantri di peron-peron untuk menyetempel passport dan tanda kedatangan.
Para pekerja wanita sepertiku setelah mendapat stempel digiring ke
sebuah ruang. Ruang khusus untuk menunggu majikan menjemput. Ruang 30x15 meter itu
memuat sekian ratus pekerja wanita. Termasuk aku, yang tidak tahu sampai kapan
aku harus mendekam, menunggu majikan datang menjemputku. Aku tidak tahu.
Dalam berjubelnya lautan perempuan yang memenuhi ruang yang sangat
tidak cukup untuk menampung ini. Insiden saling sikut, saling dorong dan saling
melempar maki cukup memekakkan telinga dan membuat dada terasa sesak. Aku hanya bisa mengurut dada dan berusaha
tenang. Ingin duduk. Hanya itu
keinginanku saat ini. Seorang penjaga ruangan meneriakkan sebuah kalimat, tentu
saja aku tidak paham apa yang dikatakannya. Namun, teriakannya cukup membuat
ruangan ini mulai tenang, satu-satu beringsut dan mengambil posisinya
masing-masing.
Dan akhirnya akupun juga mendapat tempat untuk mendudukkan tubuhku.
Lega rasanya, tanpa harus menyakiti dan tanpa ikut memaki aku berhasil juga
mendapatkan tempat. Setelah nyaman dan aman terasa, aku membuka tas ranselku.
Mengambil sepotong wafer dan meraih bingkisan yang diberikan Emak. Sedianya
Emak tidak perlu repot memberi bingkisan ini. Bisik hatiku sambil memeluk erat
bingkisan itu.
Perlahan pita yang menghias bingkisan itu kubuka dan selotip yang
menempeli kertas pembungkus juga pelan kujauhkan. Sebuah mushaf bersampul merah mawar, satu
pena dan satu buku tebal. Sebuah hadiah yang sangat berharga! Gumamku pelan.
Emak tidak pernah berhenti meyakinkanku bahwa hanya dengan tiga hal itu aku
akan menemukan keberartianku.
Mushaf dengan sampul merah mawarnya telah membawaku pada sebuah
malam-malam indah bersamamu, Mak. Betapa engkau sangat menyayangi mushafmu ini.
Mushaf dari almarhum Bapak sebagai mahar meminangmu menjadi bidadarinya.
Bukankah malam-malammu selalu bersamanya? Tiadakah kau kesepian teman malammu
kau limpahkan kepada anak semata wayangmu ini? Pertanyaan yang berseliweran
muncul di ruang pikirku.
Pena ini adalah pena yang sangat berarti bagimu, Mak. Pena
pertamamu memulai jalan cinta setelah Bapak menemui kepastiannya di kehidupan
lain. Pena yang setia menemani setiap gores kata yang Emak bagi. Semoga ini
bukan berarti Emak menghentikan kebiasaan menulisnya. Harapku mengalihkan
pikiranku yang mulai jauh berpikir yang tidak-tidak.
Salah satu buku tulis yang kau jilid sendiri ini adalah hadiah
rutin yang tidak pernah alpa kau berikan. Di sampulnya kau tulis: “Rekam
Aktivitas Harianku”. Buku itu kubuka, eit ada kertas jatuh. Surat dari Emak.
Assalamualaikum wr wb
Mila, Emak harap kamu selalu dalam keadaan baik-baik. Dengan
mushaf, pena dan buku tulis ini, Mila tidak lupa untuk tetap menjalani
kebiasaan Mila menemani malam-malam Emak selama di Indonesia.
Mila tidak perlu khawatir, Emak juga akan tetap menghidupkan
malam-malam kita. Emak di sini dan Mila di sana. Emak juga sudah mendapat mushaf
dan pena yang baru dari Ustadzah Laily.
Emak menjawab kekhawatiranku. Buncah yang sama (saat raga ini
berpamitan berjarak dari raga Emak) hadir. Haru. Tidak terasa tetes embun
mataku berebut tumpah membasahi sebagian kertas berwarna hijau muda ini.
Semoga mushaf yang sudah tidak baru, pena yang tintanya harus
selalu kamu isi ulang, dan buku tulis ini dapat menjadi penawar bagimu ketika
rindu menyapamu.
Tulis Emak membuat derai ini enggan berhenti.
Emak di Indonesia akan baik-baik saja bersama doa-doamu. Jangan lupa
doakan Emak di hadapan Ka’bah agar Allah menaqdirkan Emak menyusulmu!
Anakmu tidak akan pernah lupa hal itu, Mak. Harus jangan lupa!
Tekadku dalam hati berusaha merekamnya pada kedalaman akal, hati dan seluruh
anggota badanku.
Lenyapkan kekhawatiranmu mendapat majikan yang tidak baik.
Hilangkan ketakutanmu mendapat perlakuan tidak baik. Kakimu menginjakkan negeri
suci adalah kebaikan yang harus kamu syukuri. Selalu yakinlah kepada Allah.
Maka Allah akan selalu menjagamu!
Optimis, tidak pernah beri celah pesimis menguasai! Begitulah
selalu mutiara berhargamu akan menemani hari-hariku di negeri wahyu.
Jakarta, 9 Februari 2011
Emakmu yang selalu merindumu tersenyum!
Kuseka derai yang mengembuni
bulu mata dan membasahi pipiku. Tidak lama kemudian terdengar namaku dipanggil.
Itu pertanda majikanku datang menjemput. Tanganku bergerak cepat memberesi
barang-barangku dan memasukkan semuanya ke dalam tas tentengku. Aku berdiri dan
melangkah menghampiri sumber suara yang memanggilku. Kupanjangkan bibirku ke
kiri dan ke kanan, sambil kusodorkan pasportku kepada petugas yang lantang
memanggilku. Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Karena, tidak akan
lama lagi raga dan ruhku akan berada di tanah suci itu.
Sumber gambar : photobucket.com